Asas Hukum Pidana: Prinsip Dasar dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Irvan Aditya

0 Comment

Link
asas hukum pidana

IDPAKTORO – Hukum pidana merupakan salah satu cabang ilmu hukum yang penting dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Dalam penerapannya, hukum pidana di Indonesia dilandasi oleh sejumlah asas hukum pidana yang menjadi prinsip dasar dan pedoman bagi aparat penegak hukum.

Asas-asas hukum pidana ini memiliki peran krusial untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam proses peradilan pidana. Pemahaman yang baik tentang berbagai asas hukum pidana sangat diperlukan, tidak hanya bagi aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat umum agar hak-hak tersangka/terdakwa terlindungi dan tidak terjadi kesewenang-wenangan.

Dirangkum dari berbagai sumber, yuk kita bahas lebih mendalam tentang apa saja asas-asas penting dalam hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penerapannya dalam sistem peradilan pidana.

Asas Legalitas

Asas legalitas (principle of legality) merupakan salah satu asas paling fundamental dalam hukum pidana. Asas ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

Asas legalitas mengandung makna bahwa:

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dulu dalam perundang-undangan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali).
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
  3. Aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif).

Tujuan asas legalitas adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan penguasa, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, mencegah pelanggaran HAM, dan menjamin keadilan.

Pengecualian Asas Legalitas

Meskipun fundamental, asas legalitas bukanlah asas yang absolut. Ada beberapa pengecualian penerapan asas legalitas, antara lain:

  1. Hukum pidana adat yang masih hidup di masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tidak ada padanannya dalam KUHP.
  2. Berlakunya hukum pidana khusus yang menyimpang dari KUHP.
  3. Adanya yurisprudensi yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tetap dapat dipidana berdasarkan ukuran kepatutan menurut masyarakat sekalipun tidak diatur dalam undang-undang.

Asas Teritorialitas

Asas teritorialitas menyatakan bahwa perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP.

Berdasarkan asas teritorialitas, tidak menjadi soal apakah pelaku tindak pidana berkewarganegaraan Indonesia atau orang asing. Selama delik dilakukan di wilayah Indonesia, maka hukum pidana Indonesia tetap dapat diberlakukan terhadapnya.

Baca Juga:  Inilah Cara Membuat Abstrak yang Menarik dan Informatif

Contoh penerapan asas teritorialitas misalnya jika ada turis asing yang kedapatan mengedarkan narkoba saat berlibur di Bali. Meskipun pelaku adalah warga negara asing, ia tetap dapat dituntut dan diadili berdasarkan aturan hukum pidana Indonesia karena perbuatannya dilakukan di wilayah Indonesia.

Asas Nasionalitas Aktif (Asas Personalitas)

Asas nasionalitas aktif atau asas personalitas termaktub dalam Pasal 5 KUHP. Asas ini menyatakan bahwa aturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia.

Jadi berdasarkan prinsip nasionalitas aktif, WNI yang melakukan tindak pidana di luar negeri tetap dapat dikenakan hukum pidana Indonesia sepanjang perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum negara tempat perbuatan dilakukan (double criminality).

Contohnya, jika ada WNI yang melakukan pembunuhan saat berada di Malaysia dan perbuatan itu merupakan tindak pidana baik menurut hukum Indonesia maupun Malaysia, maka pelaku dapat dituntut berdasarkan KUHP Indonesia setelah ia kembali ke Indonesia. Asas ini untuk mencegah WNI menghindari pertanggungjawaban pidana dengan melarikan diri ke luar negeri.

Asas Nasionalitas Pasif

Asas nasionalitas pasif menyatakan bahwa aturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan negara Indonesia, meskipun dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) di luar wilayah Indonesia. Asas ini diatur dalam Pasal 4 KUHP.

Contoh penerapan asas nasionalitas pasif misalnya dalam kasus pembajakan pesawat milik maskapai Indonesia yang dilakukan oleh teroris asing di luar wilayah Indonesia. Berdasarkan asas ini, pelaku tetap dapat dituntut sesuai hukum pidana Indonesia karena perbuatannya merugikan kepentingan Indonesia.

Asas Universalitas

Asas universalitas menyatakan bahwa setiap negara berkewajiban untuk turut serta memelihara keamanan dan ketertiban dunia. Oleh karena itu, setiap negara berwenang untuk menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku tindak pidana internasional, tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku dan tempat dilakukannya tindak pidana tersebut.

Asas universalitas berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang termasuk delicta jure gentium, seperti pembajakan di laut, perusakan kabel bawah laut, pemalsuan mata uang, perdagangan budak, narkotika, terorisme, kejahatan penerbangan dan kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini dianggap mengancam kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.

Baca Juga:  Begini Cara Menjadi Guru setelah Lulus S1

Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan berarti bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa ia melakukan tindak pidana dengan kesalahan (sengaja atau lalai).

Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana tidak serta-merta dapat dijatuhi pidana jika tidak ada unsur kesalahan pada dirinya.Unsur kesalahan yang menjadi syarat pemidanaan terdiri dari 2 bentuk, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian/kealpaan (culpa).

Kesalahan juga berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana. Seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika ia dianggap mampu bertanggung jawab, artinya keadaan jiwa/psikisnya normal.

Contoh kasus yang tidak dapat dipidana karena tidak ada unsur kesalahan misalnya seorang sopir yang menabrak pejalan kaki hingga tewas karena rem mobilnya blong, padahal si sopir sudah berupaya maksimal menghindari tabrakan. Dalam kasus ini, meskipun ada perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, namun si sopir tidak dapat dipidana karena tidak ada unsur kesengajaan maupun kelalaian.

Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Asas praduga tak bersalah bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tersangka/terdakwa dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Adanya asas ini bukan berarti menghambat proses pemeriksaan perkara, tetapi mengatur agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan secara seimbang dengan tetap menghormati hak-hak tersangka/terdakwa.

Contoh penerapan asas praduga tak bersalah misalnya dengan tidak mengenakan borgol pada terdakwa saat diadili di persidangan atau tidak mempublikasikan identitas dan foto tersangka ke media massa sebelum terbukti bersalah. Hal ini untuk menghindari labelisasi atau stigmatisasi terhadap orang yang belum tentu bersalah.

Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

Asas ini diatur dalam Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009. Menurut asas ini, seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Baca Juga:  Contoh Pidato Persuasif yang Menarik dan Menginspirasi

Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.

Sedangkan rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.

Contoh kasus yang dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi misalnya seseorang yang mengalami salah tangkap, kemudian diputus bebas oleh pengadilan karena terbukti tidak melakukan tindak pidana seperti yang disangkakan. Orang tersebut berhak menuntut ganti rugi atas kerugian materiil yang dialami selama menjalani proses hukum dan juga rehabilitasi untuk memulihkan nama baiknya.

Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan atau disebut juga asas contante justitie diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009. Makna asas ini adalah sebagai berikut:

  1. Cepat, artinya pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, efisien, dan efektif serta dalam waktu yang singkat.
  2. Sederhana, artinya pemeriksaan dilakukan dengan cara yang simpel, tidak berbelit-belit, dan mudah dipahami semua pihak.
  3. Biaya ringan, artinya biaya perkara yang dibebankan kepada masyarakat pencari keadilan harus dapat dijangkau dan tidak memberatkan.

Tujuan asas ini adalah agar proses peradilan tidak berlarut-larut, prosedurnya jelas, dan biayanya terjangkau sehingga masyarakat dapat memperoleh kepastian hukum dan keadilan dengan mudah.

Contoh penerapan asas ini misalnya dengan menerapkan sistem peradilan elektronik (e-court) untuk menyederhanakan dan mempercepat proses administrasi persidangan.

Penutup

Demikianlah pembahasan kita mengenai asas-asas penting dalam hukum pidana Indonesia. Asas-asas ini menjadi landasan dan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di setiap tahapan sistem peradilan pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pemahaman dan penerapan asas hukum pidana secara konsisten sangat penting untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, menjamin perlindungan hak asasi manusia, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, serta menciptakan ketertiban dan keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar